"Sudut Motivasi Rosepine"

My life, my dream, my imagination…

Petir di Hati Ibu July 13, 2010

Filed under: cerpen — rosepine @ 4:56 am

Suasana begitu gelap. Awan mendung tak jua beranjak pergi dari posisinya. Tetes-tetes air masih berjatuhan dari atap sebuah rumah tua. Sesekali terdengar suara deru mobil membelah lubang-lubang jalan yang kini berisi air. Terdengar pula suara katak-katak yang berpesta merayakan hujan, seakan sedang menyanyikan suatu paduan irama alam yang sangat indah didengar. Begitulah keadaannya ketika Sang Langit menumpahkan air matanya kepada Sang Bumi.

Namun, keadaan di dalam rumah tua itu sangatlah berbeda. Jauh di sudut rumah, di sebuah kursi goyang, tampak seorang wanita tua sedang memandang kosong ke luar jendela. Wajahnya yang pucat menyiratkan suatu kesedihan yang sangat mendalam. Matanya sayu dan terlihat lingkaran hitam di sekelilingnya.Garis-garis wajahnya tampak jelas. Baju yang dikenakannya pun sudah usang. Badannya yang kurus menunjukkan bahwa ia tidak pernah merawat tubuhnya. Hingga hujan berhenti, ia tetap tidak mengalihkan pandangannya.

Sedikit demi sedikit, suasana di dalam rumah itu mulai terang. Awan mendung yang dari tadi menaunginya kini pergi mengikuti kemana Sang Angin berhembus. Cahaya matahari yang mulai menembus dari genting-genting kaca memperlihatkan dengan jelas setiap sudut rumah. Tampak beberapa meja dan kursi tertata rapi. Di salah satu sudut, terdapat jambangan bunga dan di sudut yang lain persis tepat berada di sebelah Ratna, wanita tua yang sejak tadi duduk di kursi goyang, terdapat meja kecil berisi foto-foto keluarga. Sepasang suami istri bersama dua anak laki-laki yang berada di dalam bingkainya, menyiratkan suatu aura kebahagiaan. Aura itulah yang menyebabkannya menjadi satu-satunya benda yang tampak hidup dibandingkan dengan benda-benda lain yang kini mulai dilapisi debu. “Assalamu’alaikum…Ibu… Ibu di mana?” kata seorang laki-laki berparas tampan sambil bergegas memasuki rumah.

Tak lama, seorang wanita yang dipanggilnya Ibu menyahut dari dalam rumah, ”Wa’alaikumsalam…Ibu di dapur, Iman…”

Dengan setengah berlari, Iman menuju ke dapur tempat Ibunya berada. Sesampainya di ambang pintu, terlihat seorang wanita sedang memotong sayuran segar untuk hidangan makan malam. Wajahnya yang cerah membuatnya terlihat lebih muda dari umurnya yang sudah berkepala lima.

”Bu, aku punya berita gembira buat Ibu.” kata Sang Anak sambil memeluk erat Ibunya dari belakang.

”Berita apa, Nak? Apa yang membuat kamu sesenang ini sampai-sampai kamu lupa sama kemarahanmu tadi pagi?” tanya Ibu sambil terus memotong sayur.

”Ah, Ibu… Kemarahanku sama Rafli yang udah membuat sebuah lubang besar di punggung baju kesayanganku tak seberapa jika dibandingkan dengan kebahagiaanku saat ini.” Iman melepas pelukannya dan duduk di hadapan Ibunya.

”Ya sudah… Terus apa beritanya?”

”Aku… Aku dapat beasiswa kuliah di Amerika.”

Seketika itu juga, tangan Ibu berhenti memotong sayur. Berita itu telah mengingatkannya pada kenangan masa lalunya.

”Tenang Bu… Aku hanya seminggu di sana. Nggak lebih kok. Lagipula ini tugas kantor, Bu. Ayah tidak bisa menolaknya. Ayah berjanji akan segera menghubungi Ibu ketika sampai di sana.”

”Tapi, Yah…” Ratna tidak melanjutkan kata-katanya. Sambil menyeka air matanya, dia berkata, ” Ya sudahlah, kalau itu memang sudah menjadi tugas Ayah. Tapi Ayah jangan lupa untuk selalu menelpon kesini.”

”Terima kasih atas pengertian Ibu. Besok pagi, Ayah dijemput oleh sopir kantor. Ibu tidak usah ikut mengantar, anak-anak kan harus pergi ke sekolah.”

Air matanya mulai menetes membasahi sayuran yang sudah terpotong membentuk dadu.

”Jaga diri Ibu baik-baik ya…. Iman dan Rafli jangan nakal, patuhi kata-kata Ibu kalian. Ayah pergi dulu… Assalamu’alaikum…”

”Wa’alaikumsalam…”

Kini air matanya tak hanya menetes. Dia mulai terisak-isak.

”Sebuah pesawat penumpang tujuan Amerika mengalami kecelakaan…”

”Ayah…”

”Diduga kecelakaan ini disebabkan karena faktor cuaca buruk. Tetapi saat ini masih diselidiki lebih lanjut apakah ada faktor human error di dalamnya.Tidak ada satupun penumpang yang selamat dalam kecelakaan tragis ini…”

”Tidak… Ayah…Tidak…”

”Berikut nama-nama korban yang telah diidentifikasi.”

”Tidaaaaaaaaa……..k….”

Lamunannya terhenti. Sambil menatap mata anaknya, dia berkata, ”Kamu tidak boleh mengambilnya!”

”Apa? Kenapa Ibu?” tanya Iman yang masih kaget ketika Ibunya teriak secara tiba-tiba.

”Pokoknya, kamu tidak boleh pergi kesana!” jawabnya sambil pergi menuju ke kamar, meninggalkan anaknya yang terduduk sedih.

Matahari mulai beranjak ke arah barat. Sinarnya kini menyoroti wajah tua yang masih terlihat sisa-sisa kecantikannya. Tapi hal itu tetap tidak bisa membuatnya bergerak sedikitpun.

”Kenapa Ibu melarangku kuliah di sana? Ini kesempatan emas, Bu… Jika aku sukses nanti, aku akan membawa ibu dan Rafli untuk pergi haji.”

”Masih banyak cara lain, Iman… Ibu tidak ingin kehilanganmu.”

”Tapi beasiswa ini yang selama ini aku tunggu-tunggu, Bu… Aku berusaha keras untuk menjadi karyawan yang baik di kantor itu agar mendapatkan beasiswa itu.”

”Apa kamu tega meninggalkan Ibu sendiri merawat adikmu yang sakit-sakitan?”

”Tentu saja tidak, Bu… Aku berusaha sekeras ini juga untuk biaya operasi Rafli. Cuma 1 tahun, Bu… Setelah itu, aku bisa direkrut untuk bekerja di sana. Lagipula, aku masih mendapatkan jatah gajiku per bulan dari kantor yang akan ditransfer ke rekeningku.”

”Sekali tidak tetap tidak.”

”Kenapa Ibu tidak mau mengerti aku?”

”Kamu yang tidak mengerti Ibu, Iman…”

Perlahan hari mulai gelap. Rintik hujan yang sedari tadi tak terdengar. Kini berirama kembali bahkan lebih keras dari sebelumnya. Angin yang kencang berhembus di sela-sela dedaunan dan membuatnya seakan-akan terlihat sedang menari mengikuti irama hujan. Namun, tarian yang terlihat dari jendela itu tidak membuat suatu ketertarikan baginya.

”Apa kakak yakin?”

”Ya Rafli, kakak harus pergi. Ini demi kebaikan kita bersama.”

”Tapi bagaimana dengan Ibu?”

”Aku yakin kamu bisa menjaga Ibu dengan baik.”

”Bagaimana  kalau, aku pergi lebih cepat dari Ibu?”

”Ssst…..kamu jangan bilang gitu. Umur manusia ada di tangan AllahSWT.”

Di dapur, Ibu telah menyiapkan semangkuk sayur dan beberapa potong ikan bandeng yang masih hangat. Kemudian, Ibu menatanya dalam nampan dan membawanya ke ruang makan, Tapi, ketika melewati kamar Iman, dia berhenti. Dia mendengar setiap percakapan antara Iman dan Rafli. Kata demi kata tidak ada yang luput dari pendengarannya.

”Aku tahu Kak… Tapi, Kanker yang bersarang di hatiku ini semakin lama semakin menjalar.”

”Yang kulakukan ini juga untuk pengobatanmu, Raf…”

”Satu tahun itu waktu yang sangat lama, Kak… Apa aku sanggup menunggu selama itu.”

Iman memeluk adiknya dan berkata, ”Aku janji aku akan kembali secepatnya. Aku tidak akan menyia-nyiakan kamu dan Ibu. Aku sayang kalian. Semoga Ayah di sana juga merestuiku.”

Kemudian dilepaskannya pelukan itu.

”Aku akan berangkat besok setelah Subuh.”

”Praaaang………” terdengar suara piring pecah dari luar kamar. Nampan yang berada di tangan Ibu terjatuh begitu saja. Dia masih tidak percaya akan apa yang keluar dari mulut anaknya.

Iman dan Rafli kaget dan langsung pergi keluar kamar. Mereka mendapati Ibunya terjatuh pingsan. Beruntung tubuhnya tidak mengenai pecahan piring. Iman langsung membawanya ke kamar dan menunggu hingga ia sadar.

Suara adzan Subuh telah terdengar. Setelah menunaikan shalat, Iman mulai membawa barang-barangnya ke luar rumah. Kemudian, ia berjalan menuju kamar Ibunya.

”Iman pamit Bu… Iman mohon doa restu Ibu… Iman mengharapkan keikhlasan Ibu, agar Iman sukses di sana.”

Ibunya masih terdiam.

”Iman akan terus memberi kabar pada Ibu.”

Tak ada satu kata pun yang keluar dari mulut wanita itu.

”Rafli, tolong jaga Ibu baik-baik. Segera beri kabar apabila sewaktu-waktu terjadi sesuatu. Kakak pamit. Assalamu’alaikum…”

”Wa’alaikumsalam…”

Petir menyambar sangat keras seolah-olah berada di atap rumah. Suasana semakin mencekam. Raut muka wanita itu mulai berubah. Kini air mata mulai menetes dari pelupuk matanya.

”Anda hanya bisa mengantarnya sampai di sini, Bu. Tolong bantu kami dengan doa.”

”Saya mohon selamatkan nyawanya Dokter”

Pintu ruang UGD telah ditutup. Di dalam ruangan, terlihat seorang laki-laki terbaring lemah. Di sekelilingnya, tim medis sedang berusaha membantunya untuk bertahan hidup. Sedangkan, di luar ruangan, sambil terduduk tak berdaya, Sang Ibu terus memanjatkan doa kepada Sang Pemberi Hidup agar anaknya terselamatkan. Satu jam terlewati, tetapi belum ada tanda-tanda selesainya operasi itu. Sang Ibu masih terus berdoa seakan tak mau kahilangan kesempatan sedikitpun untuk melafalkan namaNya. Hingga akhirnya, satu jam kemudian…

”Bagaimana keadaan anak saya Dokter? Apakah dia selamat? Bolehkah saya melihatnya?”

”Maafkan kami Ibu… Kami sudah berusaha sekuat mungkin. Tapi, hidup mati manusia ada ditangan Nya. Kami hanya bisa berusaha.”

”Maksud Dokter?”

”Nyawa putra Ibu tidak bisa kami selamatkan”

”Apa Dokter bilang? Putraku… Rafli… Tidak mungkin…”

”Tenang Ibu…”

”Tidak mungkin dia…”

”Suster, tolong tenangkan Ibu ini.”

”Tidak… Tidaaaaaak…… Ya Allah, kau telah mengambil nyawa suamiku, kenapa kau mengambil nyawa putraku juga…. Kenapa tidak kau ambil saja nyawaku Ya Allah…” teriaknya yang tak kuat menerima berita kematian ini hingga kemudian ia jatuh pingsan.

”Rafli…” rintih wanita itu perlahan. Tatapi derasnya hujan membuatnya tak terdengar.

”Iman…” kata wanita itu kemudian dengan suara yang sedikit lebih keras.

Pagi itu, seminggu setelah kepergian Rafli, datang sebuah surat dari Amerika. Bukan main senangnya hati Ibu ketika menerimanya dari tangan tukang pos. Lalu dibukanya segera dan dibacanya dengan penuh perasaan. Tiba-tiba, air mata mulai menetes dan membasahi sepucuk surat yang dipegang dengan tangan kirinya. Tangan kanannya memegang dada kirinya yang mulai terasa sakit, hingga akhirnya ia terkulai lemas.

”Iman… Kenapa kau tinggalkan Ibu juga Nak? Kenapa kau menyusul ayah dan adikmu? Inikah akhir yang kau inginkan?” ucapnya sambil terisak-isak.

”Kalau saja Ibu tahu, Ibu akan melarangmu lebih keras untuk pergi ke sana.” lanjutnya dengan penuh penyesalan.

Kini ruangan itu tampak begitu gelap. Cahaya dari Sang Rembulan yang mulai tampak dan mengintip di balik awan mendung membuat siluet-siluet hitam di dinding rumah.

”Aku sudah mengikhlaskan kalian… Aku sudah memaafkan kalian…”

1 desember 2009

23:31

 

6 Responses to “Petir di Hati Ibu”

  1. rizka Says:

    serem banget vin critane. :p
    tapi apik og. 🙂

  2. Eza Says:

    Postinganmu panjang2 banget vin..
    aq gg bisa nuliiis.. T.T

    sempetin berkunjung ke blog ku yak..
    http://eza324.wordpress.com/


Leave a comment